istilah
samurai ( 侍 ), pada awalnya mengacu kepada “seseorang yang mengabdi
kepada bangsawan”. Pada zaman Nara, (710 – 784), istilah ini diucapkan
saburau dan kemudian menjadi saburai. Selain itu terdapat pula istilah
lain yang mengacu kepada samurai yakni bushi. Istilah bushi ( 武士 ) yang
berarti “orang yang dipersenjatai/kaum militer”,
pertama
kali muncul di dalam Shoku Nihongi ( 続日本紀 ), pada bagian catatan itu
tertulis “secara umum, rakyat dan pejuang (bushi) adalah harta negara”.
Kemudian berikutnya istilah samurai dan bushi menjadi sinonim pada akhir
abad ke-12 (zaman Kamakura). Pada zaman Azuchi-Momoyama (1573 – 1600)
dan awal zaman Edo (1603), istilah saburai berubah menjadi samurai yang
kemudian berubah pengertian menjadi “orang yang mengabdi”.Sejarah Samurai
Dalam
catatan sejarah militer di Jepang, terdapat data-data yang menjelaskan
bahwa pada zaman Nara (710 – 784), pasukan militer Jepang mengikuti
model yang ada di Cina dengan memberlakukan wajib militer9 dan dibawah
komando langsung Kaisar. Dalam peraturan yang diberlakukan tersebut
setiap laki-laki dewasa baik dari kalangan petani maupun bangsawan,
kecuali budak, diwajibkan untuk mengikuti dinas militer. Secara materi
peraturan ini amat berat, karena para wakil tersebut atau kaum milter
harus membekali diri secara materi sehingga banyak yang menyerah dan
tidak mematuhi peraturan tersebut. Selain itu pula pada waktu itu kaum
petani juga dibebani wajib pajak yang cukup berat sehingga mereka
melarikan diri dari kewajiban ini. Pasukan yang kemudian terbentuk dari
wajib militer tersebut dikenal dengan sakimori ( 防人 ) yang secara
harfiah berarti “pembela”, namun pasukan ini tidak ada hubungannya
dengan samurai yang ada pada zaman berikutnya.
Setelah
tahun 794, ketika ibu kota dipindahkan dari Nara ke Heian (Kyoto), kaum
bangsawan menikmati masa kemakmurannya selama 150 tahun dibawah
pemerintahan kaisar. Tetapi, pemerintahan daerah yang dibentuk oleh
pemerintah pusat justru menekan para penduduk yang mayoritas adalah
petani. Pajak yang sangat berat menimbulkan pemberontakan di
daerah-daerah, dan mengharuskan petani kecil untuk bergabung dengan tuan
tanah yang memiliki pengaruh agar mendapatkan pemasukan yang lebih
besar. Dikarenakan keadaan negara yang tidak aman, penjarahan terhadap
tuan tanah pun terjadi baik di daerah dan di ibu kota yang memaksa para
pemilik shoen (tanah milik pribadi) mempersenjatai keluarga dan para
petaninya. Kondisi ini yang kemudian melahirkan kelas militer yang
dikenal dengan samurai.
Kelompok
toryo (panglima perang) dibawah pimpinan keluarga Taira dan Minamoto
muncul sebagai pemenang di Jepang bagian Barat dan Timur, tetapi mereka
saling memperebutkan kekuasaan. Pemerintah pusat, dalam hal ini keluarga
Fujiwara, tidak mampu mengatasi polarisasi ini, yang mengakibatkan
berakhirnya kekuasaan kaum bangsawan.
Kaisar
Gonjo yang dikenal anti-Fujiwara, mengadakan perebutan kekuasaan dan
memusatkan kekuasaan politiknya dari dalam o-tera yang dikenal dengan
insei seiji. Kaisar Shirakawa,menggantikan kaisar Gonjo akhirnya
menjadikan o-tera sebagai markas politiknya. Secara lihai, ia
memanfaatkan o-tera sebagai fungsi keagamaan dan fungsi politik.
Tentara
pengawal o-tera, souhei ( 僧兵 ) pun ia bentuk, termasuk memberi
sumbangan tanah (shoen) pada o-tera. Lengkaplah sudah o-tera memenuhi
syarat sebagai “negara” di dalam negara. Akibatnya, kelompok kaisar yang
anti pemerintahan o-tera mengadakan perlawanan dengan memanfaatkan
kelompok Taira dan Minamoto yang sedang bertikai.
Keterlibatan
Taira dan Minamoto dalam pertikaian ini berlatar belakang pada
kericuhan yang terjadi di istana menyangkut perebutan tahta, antara
Fujiwara dan kaisar yang pro maupun kotra terhadap o-tera. Perang antara
Minamoto, yang memihak o-tera melawan Taira, yang memihak istana,
muncul dalam dua pertempuran besar yakni Perang Hogen (1156) dan Perang
Heiji (1159).
Peperangan akhirnya dimenangkan
oleh Taira yang menandai perubahan besar dalam struktur kekuasaan
politik. Untuk pertama kalinya, kaum samurai muncul sebagai kekuatan
politik di istana.
Taira
pun mengangkat dirinya sebagai kuge ( 公家 - bangsawan kerajaan),
sekaligus memperkokoh posisi samurai-nya. Sebagian besar keluarganya
diberi jabatan penting dan dinobatkan sebagai bangsawan.
Keangkuhan
keluarga Taira akhirnya melahirkan konspirasi politik tingkat tinggi
antara keluarga Minamoto (yang mendapat dukungan dari kaum bangsawan)
dengan kaisar Shirakawa, yang pada akhirnya mengantarkan keluarga
Minamoto mendirikan pemerintahan militer pertama di Kamakura (Kamakura
Bakufu; 1192 – 1333).
Ketika
Minamoto Yoritomo wafat pada tahun 1199, kekuasaan diambil alih oleh
keluarga Hojo yang merupakan pengikut Taira. Pada masa kepemimpinan
keluarga Hojo (1199 -1336), ajaran Zen masuk dan berkembang di kalangan
samurai. Para samurai mengekspresikan Zen sebagai falsafah dan tuntunan
hidup mereka.
Pada
tahun 1274, bangsa Mongol datang menyerang Jepang. Para samurai yang
tidak terbiasa berperang secara berkelompok dengan susah payah dapat
mengantisipasi serangan bangsa Mongol tersebut. Untuk mengantisipasi
serangan bangsa Mongol yang kedua (tahun 1281), para samurai mendirikan
tembok pertahanan di teluk Hakata (pantai pendaratan bangsa mongol) dan
mengadopsi taktik serangan malam. Secara menyeluruh, taktik berperang
para samurai tidak mampu memberikan kehancuran yang berarti bagi tentara
Mongol, yang menggunakan taktik pengepungan besar-besaran, gerak cepat,
dan penggunaan senjata baru (dengan menggunakan mesiu). Pada akhirnya,
angin topanlah yang menghancurkan armada Mongol, dan mencegah bangsa
Mongol untuk menduduki Jepang. Orang Jepang menyebut angin ini kamikaze
(angin dewa).
Dua hal
yang diperoleh dari penyerbuan bangsa Mongol adalah pentingnya
mobilisasi pasukan infantri secara besar-besaran, dan kelemahan dari
kavaleri busur panah dalam menghadapi penyerang. Sebagai akibatnya,
lambat laun samurai menggantikan busur-panah dengan “pedang” sebagai
senjata utama samurai. Pada awal abad ke-14, pedang dan tombak menjadi
senjata utama di kalangan panglima perang.
Pada
zaman Muromachi (1392 – 1573), diwarnai dengan terpecahnya istana Kyoto
menjadi dua, yakni Istana Utara di Kyoto dan Istana Selatan di Nara.
Selama 60 tahun terjadi perselisihan sengit antara Istana Utara melawan
Istana Selatan (nambokuchō tairitsu).
Pertentangan
ini memberikan dampak terhadap semakin kuatnya posisi kaum petani dan
tuan tanah daerah (shugo daimyō) dan semakin lemahnya shogun Ashikaga di
pemerintahan pusat. Pada masa ini, Ashikaga tidak dapat mengontrol para
daimyō daerah. Mereka saling memperkuat posisi dan kekuasaannya di
wilayah masing-masing.
Setiap
Han13 seolah terikat dalam sebuah negara-negara kecil yang saling
mengancam. Kondisi ini melahirkan krisis panjang dalam bentuk perang
antar tuan tanah daerah atau sengoku jidai (1568 – 1600). Tetapi krisis
panjang ini sesungguhnya merupakan penyaringan atau kristalisasi tokoh
pemersatu nasional, yakni tokoh yang mampu menundukkan tuan-tuan tanah
daerah, sekaligus menyatukan Jepang sebagai “negara nasional” di bawah
satu pemerintahan pusat yang kuat. Tokoh tersebut adalah Jenderal Oda
Nobunaga dan Toyotomi Hideyoshi.
Oda
Nobunaga, seorang keturunan daimyo dari wilayah Owari dan seorang ahli
strategi militer, mulai menghancurkan musuh-musuhnya dengan cara
menguasai wilayah Kinai, yaitu Osaka sebagai pusat perniagaan, Kobe
sebagai pintu gerbang perdagangan dengan negara luar, Nara yang
merupakan “lumbung padi”, dan Kyoto yang merupakan pusat pemerintahan
Bakufu Muromachi dan istana kaisar.
Strategi
terpenting yang dijalankannya adalah Oda Nobunaga dengan melibatkan
agama untuk mencapai ambisinya. Pedagang portugis yang membawa agama
Kristen, diberi keleluasaan untuk menyebarkan agama itu di seluruh
Jepang. Tujuan strategis Oda dalam hal ini adalah agar ia secara leluasa
dapat memperoleh senjata api yang diperjualbelikan dalam kapal-kapal
dagang Portugis, sekaligus memonopoli perdagangan dengan pihak asing.
Dengan memiliki senjata api (yang paling canggih pada masa itu), Oda
akan dapat menundukkan musuh-musuhnya lebih cepat dan mempertahankan
wilayah yang telah dikuasainya serta membentuk pemerintahan pusat yang
kokoh.
Oda Nobubunaga
membangun benteng Azuchi Momoyama pada tahun 1573 setelah berhasil
menjatuhkan Bakufu Muromachi. Strategi Oda dengan melindungi agama
Kristen mendatangkan sakit hati bagi pemeluk agama Budha. Pada akhirnya,
ia dibunuh oleh pengikutnya sendiri, Akechi Mitsuhide, seorang penganut
agama Budha yang fanatik, pada tahun 1582 di Honnoji, sebelum ia
berhasil menyatukan seluruh Jepang.
Toyotomi
Hideyoshi, yang merupakan pengikut setia Oda, melanjutkan penyatuan
Jepang, dan tugasnya ini dituntaskan pada tahun 1590 dengan menaklukkan
keluarga Hojo di Odawara dan keluarga Shimaru di Kyushu tiga tahun
sebelumnya.
Terdapat
dua peraturan penting yang dikeluarkan Toyotomi : taiko kenchi
(peraturan kepemilikan tanah) dan katana garirei (peraturan perlucutan
pedang) bagi para petani. Kedua peraturan ini secara strategis bermaksud
“mengontrol” kekayaan para tuan tanah dan mengontrol para petani agar
tidak melakukan perlawanan atau pemberontakan bersenjata.
NIVALCO.BLOGSPOT.COM
Jumat, 22 Oktober 2010
Ini Dia Sejarah Samurai
07.00
Maju Mundur
0 komentar:
Posting Komentar